TRADISI ULO-ULO MANDING
Studi Kasus Tradisi Pernikahan Terakhir dari Anak
pada Masyarakat Desa Demangan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara
Abstrak
Budaya
merupakan aspek yang sangat erat kaitannya dengan interaksi manusia. interaksi
antar manusia yang terjadi dalam setiap daerah tentu menghasilkan corak budaya
yang berbeda, walaupun maknanya terkadang sama (mowo deso mowo coro). Perbedaan
corak tradisi inilah yang kemudian memberikan ragam kebudayaan bagi bangsa
Indonesia. Tradisi masyarakat yang sering dilihat biasanya berkaitan kehamilan,
kelahiran, pernikahan, dan kematian seseorang. Salah satu bentuk tradisi yang
mempunyai corak yang beragam ialah pernikahan. Dilihat dari kenyataan yang ada,
adat atau tradisi pernikahan setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan
kesepakatan daerah tersebut. Dalam tradisi pernikahan biasanya terdapat
berbagai rangkaian kegiatan yang dimulai dari taaruf (pengenalan), meminang
(nembung), akad nikah sampai kepada walimah. Akad adalah sebuah kunci yang
menyatukan pasangan, sedangkan walimah adalah bentuk syukur atas
terselenggaranya akad pernikahan tersebut.
A. PENDAHULUAN
Dalam
tradisi Jawa, pernikahan dibuat sebagai suatu hal yang sakral, karena
pernikahan adalah pembangunan keluarga baru yang diharapkan terbentuk keluarga
sakinah, mawaddah, dan warahmah. Dengan menikahkan anak maka orang tua sudah
lepas dari tanggung jawabnya terhadap anak tersebut, dari anak yang pertama
sampai anak terakhir, tanpa dibatasi siapa yang harus dahulu melakukan
pernikahan. Pernikahan terakhir dari anak dalam sebuah keluarga dalam
masyarakat jawa disebut sebagai pungkasane mantu, pungkasane dugawe, lan
pungkasane ngomahke anak.
Pernikahan
terakhir dari seorang anak dalam adat Jawa terdapat adat-adat tertentu yang
harus dilaksanakan, karena merupakan penutupan. Tradisi penutupan ini digunakan
sebagai sarana perpisahan dan permintaan izin anak kepada orangtua dan saudara
kandungnya untuk mengarungi kehidupan baru. Sehingga, pernikahan terakhir
seorang anak dalam adat Jawa ditekankan nilai kebersamaan dan ikatan agar
setelah membangun keluarga baru kerukunan, dan kebersamaan tetap terjaga. Setelah
diadakannya pernikahan, biasanya diadakan pesta pernikahan. Hukum pesta
pernikahan (walimah) menurut jumhur ulama adalah sunah bukan wajib, karena walimah
pada dasarnya adalah pemberian makan lantaran mendapat kabar kegembiraan.
Beranjak
dari uraian diatas, penulis bermaksud memberikan pemaparan terkait tradisi
pernikahan terakhir yang berkembang di desa Demangan kecamatan Tahunan
kabupaten Jepara. Tradisi di daerah ini dinamakan dengan Ulo-ulo Manding.
Penulis menyusun tulisan ini untuk menjawab pertanyaan bagaimana konsep dan
makna tradisi Ulo-ulo Manding bagi kehidupan masyarakat di desa Demangan.
B. PEMBAHASAN
1. Kondisi Lapangan Tradisi Ulo-ulo Manding
Tradisi
Ulo-ulo Manding masih tetap berlaku di desa Demangan. Setiap ada pernikahan
terakhir dari anak, maka warga desa Sumanding mengadakan tradisi ini. Tradisi
ini mulai disisipi dengan berbagai nilai-nilai Islam, diantaranya sebelum
kegiatan ini ada slametan untuk meminta keberkahan serta keselamatan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan terkadang diiringi dengan slametan dan shalawatan.
Sehingga, tradisi ini dalam pandangan masyarakat desa Sumanding adalah sebuah
kebutuhan. Oleh karena itu, tradisi ini masih terus berkembang, dan berlaku
dalam rangka pernikahan anak terakhir, baik diadakan pesta pernikahan maupun
tidak. Karena menurut pandangan masyarakat, tradisi ini mengandung makna
kehidupan yang ditempuh dalam perjalanan kehidupan manusia
2. Analisa
Lapangan Tradisi Ulo-ulo Manding
Tradisi
ulo-ulo manding adalah salah satu tradisi asli orang Jawa dalam memperingati
perkawinan terakhir dari anak, baik itu anak yang tidak terakhir maupun yang
terakhir, tetapi yang menikah paling akhir (disebut pungkasane mantu). Tradisi
muncul sebagai bentuk rasa syukur dari orangtua atas kebahagiaan yang
diterimanya karena semua anaknya telah melakukan pernikahan atau membangun
keluarga baru. Maka, orang Jawa umumnya, dan orang Desa Demangan khususnya
merasa bahwa melakukan sebuah ritual untuk memperingatinya sangatlah penting,
karena ini adalah sebuah hajat bagi mereka.
Tradisi
ini memang telah terpinggirkan dengan adat-adat baru, berupa manganan ataupun sering disebut bancaan, karena mereka
memandang hal tersebut sudah cukup sebagai bentuk rasa syukur. Namun, bagi
masyarakat Desa Demangan tradisi ini harus terus dilaksanakan dan dilestarikan,
karena merupakan bagian dari warisan leluhur mereka.
Tradisi
ini disebut ulo-ulo manding karena dalam pelaksanaannya seluruh keluarga yang
meliputi ayah, ibu, anak, berurutan dari ayah, ibu, anak pertama dan
pasangannya, dan selanjutnya sampai kepada anak terakhir dan pasangannya yang
urutannya seperti ular.
Ayah
diibaratkan sebagai kepala ular (jawa ulo) karena ayah adalah kepala keluarga,
kemudian anak terakhir yang bertempat dibelakang atau buntut karena dalam
istilah jawa anak terakhir disebut pula anak bontot. Pelaksanaan tradisi ini
adalah bagian dari puncak acara pernikahan, yang dilakukan pada malam hari
setelah acara mantenan atau jemput manten. Dimulai dengan slametan dan doa
untuk meminta keselamatan dan keberkahan kehidupan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga, tradisi ini diharapkan menjadi sarana untuk dapat meraih ridha dari
Tuhan agar dilimpahkan keberkahan dan diberikan keselamatan dalam kehidupannya.
Menurut
tokoh-tokoh adat Desa Demangan, Ulo-ulo manding memiliki makna “ojo beda-bedaake
(mbanding-mbandingake) kawulo yang artinya kita tidak boleh membeda-bedakan
setiap orang, baik dia kaya, cukup, maupun miskin. Setiap manusia diciptakan
dengan perbedaan, perbedaan tersebut memberikan warna yang indah bagi
kehidupan. Hal ini senada dengan apa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, karena
orang yang terbaik disisi Allah ialah orang yang paling takwa, bukan orang yang
memiliki kedudukan dan kekayaan yang tinggi.
Dalam
pelaksanaan tradisi ulo-ulo manding disiapkan sebuah paso yang terbuat dari
lemah yang berisikan air dan kembang, kemudian diatasnya ada tampah yang berisi
ketupat, pisang raja, pisang kawesto, dan receh yang semua yang tersebut
diletakkan ditengah-tengah keluarga yang telah melingkar membentuk seperti ular
tadi. Paso yang berisi air dan kembang memiliki arti bahwa manusia hidup di
jagad raya, yang dalam perjalanan kehidupannya mengalir seperti air. Dalam
kehidupan tersebut, dipenuhi dengan warna-warni baik berupa kebaikan dan yang
kurang baik, maupun kelebihan dan kekurangan. Sehingga diharapkan ia dapat
membeda-bedakan mana yang baik, dan yang tidak baik. Tampah diartikan sebuah
negara ataupun tempat manusia tersebut tinggal. Pisang raja memberikan arti
bahwasanya setiap manusia bisa menjadi raja atau pun orang yang memiliki
kedudukan dan kehormatan melalui usahanya.
Ketupat
atau lepet menjadi tanda bahwasanya makanan pokok dari masyarakat Indonesia khususnya
Jawa adalah berasal dari beras. Karena mayoritas masyarakat Jawa adalah sebagai
petani. Kemudian adanya pisang kawesto dalam pesan Jawanya “Awes nak ditoto”
berarti setiap manusia dapat memiliki kepribadian yang baik dengan adanya
penataan kepribadian melalui penanaman ilmu, diberikan teladan, dan dilakukan
pembiasaan.
Begitupun
pengantin yang baru saja melakukan pernikahan, mereka masih memerlukan
bimbingan, arahan, dan pengalaman dari orang lain yang telah terlebih dahulu
membentuk keluarga. Sehingga, diharapkan mereka dapat mengambil pelajaran agar
keluarga yang dibangun nanti dapat aman, tenteram, dan terhindar dari
masalah-masalah yang berkelanjutan. Selanjutnya receh diibaratkan sebagai
rezeki yang jumlahnya banyak, dan tersebar di seluruh dunia. Dalam pelaksanaan
tradisi ini, seluruh keluarga mengitari semua yang telah disiapkannya selama
sekali yang menandakan bahwa manusia hidup di dunia ini hanya sekali, maka ia
harus mempersiapkan diri sebelum datangnya mati. Setelah mengitarinya, uang receh
disebarkan keatas sebagai pertanda bahwa rezeki itu diberikan Allah dimana
saja. Sehingga, setiap mereka yang hidup bebas untuk mencari rezeki bagi diri
mereka maupun kepada keluarga mereka.
Tradisi
ulo-ulo manding ini memberikan berbagai makna kehidupan bagi mereka yang telah
melakukan pernikahan. Namun, tradisi ini juga disebut pungkasane mantu lan
ngomahke anak. Artinya dengan adanya tradisi ini orangtua telah lepas tanggung
jawab tehadap anak. Karena anak-anak mereka telah memperoleh pasangan hidupnya,
dan telah membentuk keluarga yang baru. Sehingga, tradisi ini muncul sebagai
bentuk rasa syukur dari orangtua, karena anak-anaknya telah menikah, dan
membangun keluarga sendiri dan sebagai sarana memberi bekal bagi anak dalam
kehidupannya sebagaimana yang makna dari proses tradisi ini yang tersebut
diatas.
C. KESIMPULAN
Pernikahan
adalah kebutuhan setiap orang. Dengan adanya pernikahan setiap orang dapat
melanjutkan regenerasinya. Sehingga, setiap orang mengupayakan pernikahan
diatur dengan sebaik mungkin. Lebih lanjut, setelah adanya pernikahan, biasanya
setiap orang mengadakan pesta pernikahan, sebagai bentuk rasa syukur atas
kebahagiaan yang diterimanya. Pesta pernikahan ini biasanya dilakukan sesuai
dengan tradisi ataupun adat istiadat daerah setempat. Dari adat perniakahan
setiap daerah yang dilakukan biasanya memunculkan berbagai tradisi yang berupa
ritual khusus, termasuk pernikaha terakhir dari seorang anak, dimana setelah
adanya pernikahan ini orang tua, tidak memiliki tanggungan terhadap anak.
Karena semua anaknya telah membentuk keluarga baru. sehingga, masyarakat Desa
Sumanding mengupayakan bahwa pernikahan anak terakhir harus disyukuri, dengan
adanya tradisi ulo-ulo manding.
“Berfikir Aktif, Bertindak Kreatif, dan Menjadi
Pribadi yang Solutif”