Senin, 05 Desember 2016

Ircham Ghufron (1530210027)

TRADISI ULO-ULO MANDING
Studi Kasus Tradisi Pernikahan Terakhir dari Anak pada Masyarakat Desa Demangan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara
Abstrak
Budaya merupakan aspek yang sangat erat kaitannya dengan interaksi manusia. interaksi antar manusia yang terjadi dalam setiap daerah tentu menghasilkan corak budaya yang berbeda, walaupun maknanya terkadang sama (mowo deso mowo coro). Perbedaan corak tradisi inilah yang kemudian memberikan ragam kebudayaan bagi bangsa Indonesia. Tradisi masyarakat yang sering dilihat biasanya berkaitan kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian seseorang. Salah satu bentuk tradisi yang mempunyai corak yang beragam ialah pernikahan. Dilihat dari kenyataan yang ada, adat atau tradisi pernikahan setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan daerah tersebut. Dalam tradisi pernikahan biasanya terdapat berbagai rangkaian kegiatan yang dimulai dari taaruf (pengenalan), meminang (nembung), akad nikah sampai kepada walimah. Akad adalah sebuah kunci yang menyatukan pasangan, sedangkan walimah adalah bentuk syukur atas terselenggaranya akad pernikahan tersebut.











A. PENDAHULUAN
Dalam tradisi Jawa, pernikahan dibuat sebagai suatu hal yang sakral, karena pernikahan adalah pembangunan keluarga baru yang diharapkan terbentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah. Dengan menikahkan anak maka orang tua sudah lepas dari tanggung jawabnya terhadap anak tersebut, dari anak yang pertama sampai anak terakhir, tanpa dibatasi siapa yang harus dahulu melakukan pernikahan. Pernikahan terakhir dari anak dalam sebuah keluarga dalam masyarakat jawa disebut sebagai pungkasane mantu, pungkasane dugawe, lan pungkasane ngomahke anak.
Pernikahan terakhir dari seorang anak dalam adat Jawa terdapat adat-adat tertentu yang harus dilaksanakan, karena merupakan penutupan. Tradisi penutupan ini digunakan sebagai sarana perpisahan dan permintaan izin anak kepada orangtua dan saudara kandungnya untuk mengarungi kehidupan baru. Sehingga, pernikahan terakhir seorang anak dalam adat Jawa ditekankan nilai kebersamaan dan ikatan agar setelah membangun keluarga baru kerukunan, dan kebersamaan tetap terjaga. Setelah diadakannya pernikahan, biasanya diadakan pesta pernikahan. Hukum pesta pernikahan (walimah) menurut jumhur ulama adalah sunah bukan wajib, karena walimah pada dasarnya adalah pemberian makan lantaran mendapat kabar kegembiraan.
Beranjak dari uraian diatas, penulis bermaksud memberikan pemaparan terkait tradisi pernikahan terakhir yang berkembang di desa Demangan kecamatan Tahunan kabupaten Jepara. Tradisi di daerah ini dinamakan dengan Ulo-ulo Manding. Penulis menyusun tulisan ini untuk menjawab pertanyaan bagaimana konsep dan makna tradisi Ulo-ulo Manding bagi kehidupan masyarakat di desa Demangan.





B. PEMBAHASAN
 1. Kondisi Lapangan Tradisi Ulo-ulo Manding
Tradisi Ulo-ulo Manding masih tetap berlaku di desa Demangan. Setiap ada pernikahan terakhir dari anak, maka warga desa Sumanding mengadakan tradisi ini. Tradisi ini mulai disisipi dengan berbagai nilai-nilai Islam, diantaranya sebelum kegiatan ini ada slametan untuk meminta keberkahan serta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan terkadang diiringi dengan slametan dan shalawatan. Sehingga, tradisi ini dalam pandangan masyarakat desa Sumanding adalah sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, tradisi ini masih terus berkembang, dan berlaku dalam rangka pernikahan anak terakhir, baik diadakan pesta pernikahan maupun tidak. Karena menurut pandangan masyarakat, tradisi ini mengandung makna kehidupan yang ditempuh dalam perjalanan kehidupan manusia
 2.  Analisa Lapangan Tradisi Ulo-ulo Manding
Tradisi ulo-ulo manding adalah salah satu tradisi asli orang Jawa dalam memperingati perkawinan terakhir dari anak, baik itu anak yang tidak terakhir maupun yang terakhir, tetapi yang menikah paling akhir (disebut pungkasane mantu). Tradisi muncul sebagai bentuk rasa syukur dari orangtua atas kebahagiaan yang diterimanya karena semua anaknya telah melakukan pernikahan atau membangun keluarga baru. Maka, orang Jawa umumnya, dan orang Desa Demangan khususnya merasa bahwa melakukan sebuah ritual untuk memperingatinya sangatlah penting, karena ini adalah sebuah hajat bagi mereka.
Tradisi ini memang telah terpinggirkan dengan adat-adat baru, berupa manganan ataupun  sering disebut bancaan, karena mereka memandang hal tersebut sudah cukup sebagai bentuk rasa syukur. Namun, bagi masyarakat Desa Demangan tradisi ini harus terus dilaksanakan dan dilestarikan, karena merupakan bagian dari warisan leluhur mereka.
Tradisi ini disebut ulo-ulo manding karena dalam pelaksanaannya seluruh keluarga yang meliputi ayah, ibu, anak, berurutan dari ayah, ibu, anak pertama dan pasangannya, dan selanjutnya sampai kepada anak terakhir dan pasangannya yang urutannya seperti ular.

Ayah diibaratkan sebagai kepala ular (jawa ulo) karena ayah adalah kepala keluarga, kemudian anak terakhir yang bertempat dibelakang atau buntut karena dalam istilah jawa anak terakhir disebut pula anak bontot. Pelaksanaan tradisi ini adalah bagian dari puncak acara pernikahan, yang dilakukan pada malam hari setelah acara mantenan atau jemput manten. Dimulai dengan slametan dan doa untuk meminta keselamatan dan keberkahan kehidupan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, tradisi ini diharapkan menjadi sarana untuk dapat meraih ridha dari Tuhan agar dilimpahkan keberkahan dan diberikan keselamatan dalam kehidupannya.
Menurut tokoh-tokoh adat Desa Demangan, Ulo-ulo manding memiliki makna “ojo beda-bedaake (mbanding-mbandingake) kawulo yang artinya kita tidak boleh membeda-bedakan setiap orang, baik dia kaya, cukup, maupun miskin. Setiap manusia diciptakan dengan perbedaan, perbedaan tersebut memberikan warna yang indah bagi kehidupan. Hal ini senada dengan apa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, karena orang yang terbaik disisi Allah ialah orang yang paling takwa, bukan orang yang memiliki kedudukan dan kekayaan yang tinggi.
Dalam pelaksanaan tradisi ulo-ulo manding disiapkan sebuah paso yang terbuat dari lemah yang berisikan air dan kembang, kemudian diatasnya ada tampah yang berisi ketupat, pisang raja, pisang kawesto, dan receh yang semua yang tersebut diletakkan ditengah-tengah keluarga yang telah melingkar membentuk seperti ular tadi. Paso yang berisi air dan kembang memiliki arti bahwa manusia hidup di jagad raya, yang dalam perjalanan kehidupannya mengalir seperti air. Dalam kehidupan tersebut, dipenuhi dengan warna-warni baik berupa kebaikan dan yang kurang baik, maupun kelebihan dan kekurangan. Sehingga diharapkan ia dapat membeda-bedakan mana yang baik, dan yang tidak baik. Tampah diartikan sebuah negara ataupun tempat manusia tersebut tinggal. Pisang raja memberikan arti bahwasanya setiap manusia bisa menjadi raja atau pun orang yang memiliki kedudukan dan kehormatan melalui usahanya.
Ketupat atau lepet menjadi tanda bahwasanya makanan pokok dari masyarakat Indonesia khususnya Jawa adalah berasal dari beras. Karena mayoritas masyarakat Jawa adalah sebagai petani. Kemudian adanya pisang kawesto dalam pesan Jawanya “Awes nak ditoto” berarti setiap manusia dapat memiliki kepribadian yang baik dengan adanya penataan kepribadian melalui penanaman ilmu, diberikan teladan, dan dilakukan pembiasaan.
Begitupun pengantin yang baru saja melakukan pernikahan, mereka masih memerlukan bimbingan, arahan, dan pengalaman dari orang lain yang telah terlebih dahulu membentuk keluarga. Sehingga, diharapkan mereka dapat mengambil pelajaran agar keluarga yang dibangun nanti dapat aman, tenteram, dan terhindar dari masalah-masalah yang berkelanjutan. Selanjutnya receh diibaratkan sebagai rezeki yang jumlahnya banyak, dan tersebar di seluruh dunia. Dalam pelaksanaan tradisi ini, seluruh keluarga mengitari semua yang telah disiapkannya selama sekali yang menandakan bahwa manusia hidup di dunia ini hanya sekali, maka ia harus mempersiapkan diri sebelum datangnya mati. Setelah mengitarinya, uang receh disebarkan keatas sebagai pertanda bahwa rezeki itu diberikan Allah dimana saja. Sehingga, setiap mereka yang hidup bebas untuk mencari rezeki bagi diri mereka maupun kepada keluarga mereka.
Tradisi ulo-ulo manding ini memberikan berbagai makna kehidupan bagi mereka yang telah melakukan pernikahan. Namun, tradisi ini juga disebut pungkasane mantu lan ngomahke anak. Artinya dengan adanya tradisi ini orangtua telah lepas tanggung jawab tehadap anak. Karena anak-anak mereka telah memperoleh pasangan hidupnya, dan telah membentuk keluarga yang baru. Sehingga, tradisi ini muncul sebagai bentuk rasa syukur dari orangtua, karena anak-anaknya telah menikah, dan membangun keluarga sendiri dan sebagai sarana memberi bekal bagi anak dalam kehidupannya sebagaimana yang makna dari proses tradisi ini yang tersebut diatas.
  









 C. KESIMPULAN
Pernikahan adalah kebutuhan setiap orang. Dengan adanya pernikahan setiap orang dapat melanjutkan regenerasinya. Sehingga, setiap orang mengupayakan pernikahan diatur dengan sebaik mungkin. Lebih lanjut, setelah adanya pernikahan, biasanya setiap orang mengadakan pesta pernikahan, sebagai bentuk rasa syukur atas kebahagiaan yang diterimanya. Pesta pernikahan ini biasanya dilakukan sesuai dengan tradisi ataupun adat istiadat daerah setempat. Dari adat perniakahan setiap daerah yang dilakukan biasanya memunculkan berbagai tradisi yang berupa ritual khusus, termasuk pernikaha terakhir dari seorang anak, dimana setelah adanya pernikahan ini orang tua, tidak memiliki tanggungan terhadap anak. Karena semua anaknya telah membentuk keluarga baru. sehingga, masyarakat Desa Sumanding mengupayakan bahwa pernikahan anak terakhir harus disyukuri, dengan adanya tradisi ulo-ulo manding.










“Berfikir Aktif, Bertindak Kreatif, dan Menjadi Pribadi yang Solutif”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar